Minggu, 04 Desember 2011

BAB I DEFINISI, PENJELASAN ARTI, DAN PENGAMBILAN KATA BID'AH DARI SEGI LAFAZH


BAB I
DEFINISI, PENJELASAN ARTI, DAN
PENGAMBILAN KATA BID'AH DARI SEGI LAFAZH


Kata bada’a menunjukkan arti penciptaan sesuatu yang baru yang tidak ada permisalan sebelumnya, disebutkan dalam firman Alloh Ta'ala, "Allah pencipta langit dan bumi." Hal tersebut menunjukkan bahwa Alloh sebagai pencipta keduanya tanpa ada permisalan sebelumnya. Juga disebutkan dalam firman-Nya, "Katakanlah, 'Aku bukanlah rosul yang pertama di antara rosul-rosul'." Hal ini juga mengandung arti, "Aku bukanlah rosul pertama yang diutus dengan membawa risalah dari Alloh kepada hamba-hamba-Nya, akan tetapi aku telah didahului oleh para rosul sebelumnya."

Jika dikatakan, "Si Fulan membuat perkara yang baru (bid'ah)." Maka berarti ia membuat suatu tatanan (cara) yang tidak dibuat oleh orang sebelumnya. Atau kalimat, "Ini adalah perkara yang mengagumkan." Sebuah ungkapan yang ditujukan untuk sesuatu yang paling baik, yang tidak ada yang lebih baik darinya dan seakan-akan sebelumnya pun tidak ada yang sepertinya atau yang serupa dengannya.

Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa semua perkara baru dinamakan bid'ah, mengeluarkannya untuk dijadikan tingkah laku (perbuatan) yang bersandar padanya dinamakan perbuatan bid'ah, dan bentuk dari perbuatan tersebut dinamakan bid'ah. Bahkan keilmuan yang dibentuk dari teori dan sisi tersebut dinamakan bid'ah.

Jadi, semua pekerjaan yang tidak mempunyai dalil syar'i dinamakan bid'ah (ungkapan yang lebih khusus dari arti yang sebenarnya secara bahasa).

Telah ditetapkan dalam ilmu ushul bahwa semua hukum yang berkaitan dengan perbuatan dan perkataan seorang hamba terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Hukum yang mengandung arti perintah, yaitu untuk perkara yang wajib atau sunah.
2. Hukum yang mengandung arti larangan, yaitu untuk perkara yang dibenci atau diharamkan.
3. Hukum yang mengandung arti pilihan, yaitu untuk perkara yang mubah.

Semua perbuatan dan perkataan seorang hamba tidak terlepas dari tiga bagian berikut ini:
1. Diharuskan untuk mengerjakannya
2. Diharuskan untuk meninggalkannya.
3. Diperbolehkan untuk mengerjakan atau meninggalkannya.

Bagian yang diharuskan untuk meninggalkannya disebabkan oleh pertentangan bagian tersebut terhadap dua bagian lainnya, yang terbagi menjadi dua bagian:

1. Diharuskan meninggalkannya dan dilarang untuk mengerjakannya karena ada penyimpangan yang khusus, disertai pertimbangan selain hal-hal tersebut, yaitu apabila suatu perkara diharamkan maka perbuatan tersebut dinamakan maksiat dan perbuatan dosa, sedangkan pelakunya dinamakan orang yang bermaksiat dan berdosa. Namun jika tidak maka tidak disebut dengan nama tersebut serta masuk dalam kategori hukum pengampunan. Suatu perbuatan tidak dihukumi boleh atau mubah kecuali ada penggabungan antara perkara yang dibolehkan dan perkara yang dilarang, atau dengan kata lain bahwa hal itu adalah penggabungan antara dua perkara yang berlawanan.

2. Diharuskan meninggalkannya dan dilarang untuk mengerjakannya karena ada penyimpangan hukum-hukum syariat yang jelas (zhahir nash), baik dari sisi penetapan batasan, penentuan tata cara pelaksanaan, maupun keharusan untuk berpegang teguh pada kondisi tertentu atau waktu tertentu yang disertai dengan tindakan mudawamah (terus-menerus).

Inilah yang disebut perbuatan bid'ah dan inilah arti bid'ah itu sendiri. Jadi, orang yang mengerjakannya disebut mubtadi'(orang yang melakukan bid'ah).

Oleh karena itu, bid'ah adalah sebuah istilah tentang tata cara dalam agama yang sengaja dibuat dan menyerupai syariat, dengan tujuan mengekspresikannya dalam bentuk tingkah laku (perbuatan) yang bersandar padanya secara berlebihan, terutama dalam beribadah kepada Alloh. Pendapat ini berdasarkan pendapat orang yang tidak memasukkan adat kebiasaan ke dalam kategori bid'ah dan hanya membatasinya pada permasalahan ibadah. Adapun pendapat orang yang memasukkan adat kebiasaan sebagai bid'ah, adalah, "Bid'ah adalah tata cara dalam agama yang sengaja dibuat dan menyerupai syariat dengan tujuan mengekspresikannya dalam bentuk tingkah laku (perbuatan) yang bersandar padanya, seperti yang dijalankan pada tata cara syariat."

Dalam bab ini diterangkan kalimat-kalimat pada batasan tersebut.

Kata ath-thariq, as-sabil, dan as-sunnah memiliki satu arti, yaitu semua yang digariskan untuk dijadikan sebagai tingkah laku (perbuatan) yang bersandar atasnya. Adapun yang dikaitkan dengan agama, karena perkara itu sengaja dibuat dan dimasukkan ke dalam perkara agama, lalu kepadanyalah —orang yang membuat— menyandarkannya. Apabila tata cara yang baru yang sengaja dibuat tersebut khusus berkenaan dengan masalah dunia, tentu tidak dinamakan bid'ah, seperti membangun sebuah pabrik atau sebuah negeri yang sebelumnya tidak ada.

Tatkala tata cara dalam agama terbagi-bagi —ada yang mempunyai sumber dalam syariat dan ada yang tidak mempunyai sumber dalam syariat— maka batasannya hanya dikhususkan pada bagian yang baru diciptakan saja. Maksudnya adalah tata cara yang baru dibuat dan tidak ada permisalan sebelumnya dari Dia yang membuat syariat (Alloh).

Dengan demikian, bid'ah dikhususkan dan tidak keluar dari sesuatu yang telah digambarkan oleh Dia yang membuat syariat. Sebab, dengan batasan tersebut maka tidak semua yang tebersit dalam benak bahwa perkara itu baru dan ada kaitannya dengan agama, disebut bid'ah, seperti ilmu nahwu, sharaf, mufradat (ilmu kosakata), ushul fikih, ushuluddin, dan semua ilmu yang menjadi penunjang keberhasilan dalam memahami syariat.

Keilmuan tersebut, meski pada periode pertama tidak ditemukan, namun dasar-dasamya telah ada dalam syariat, seperti perintah untuk mempelajari i'rab Al-Qor 'an (menjabarkan Al-Qor’an) yang diterima secara turun-temurun, serta ulumul lisan (ilmu yang berkenaan dengan tata cara berbicara yang baik) yang akan mengarahkan kepada hal yang benar dalam Al-Qor'an dan Sunnah. Yang demikian itu adalah ilmu yang mengajarkan tentang ibadah dengan lafazh-lafazh yang telah disyariatkan agar dapat memahami dan tahu cara mengambil serta melakukannya.

Sedangkan ushul fikih adalah penditian hukum secara global, sehingga para mujtahid dapat lebih mudah dalam meneliti dan memahaminya. Begitu juga dengan ushuluddin, ia adalah ilmu kalam yang isinya mencakup pengukuhan terhadap dalil-dalil Al-Qor’an dan Sunnah, atau yang dibuat dari ilmu kalam itu sendiri yang berkaitan dengan ketauhidan serta segala sesuatu yang berhubungan dengannya, sebagaimana ilmu fikih yang berfungsi sebagai pengukuh terhadap dalil-dalil yang berhubungan dengan cabang-cabang ibadah.

Jika dikatakan: Bila penyusunannya dalam bentuk seperti yang disebutkan, maka dinamakan perkara yang baru?

Maka jawabannya.- Sesungguhnya semua ilmu tersebut memiliki dasar dalam syariat dan dikarenakan oleh dalil di dalam hadits. Jika tidak ada dalil yang menguatkan perkara tersebut secara khusus, maka hukum syariat secara umum telah mengakui keberadaannya, yaitu yang diambil dari kaidah almaslahah almursalah. Dalam hal ini akan diterangkan secara rinci pada bab yang akan datang.
Pendapat yang menetapkan bahwa setiap ilmu memiliki dasar dalam syariat mengatakan bahwa keabsahan semua ilmu yang menjadi penunjang dipahaminya syariat berada dalam dalil-dalil yang tidak diambil dari satu segi saja. Dengan demikian, hal tersebut sama sekali tidak dinamakan bid'ah.
Sedangkan pendapat yang tidak mengakui adanya dasar-dasar setiap ilmu tersebut dalam syariat, mengategorikan ilmu-ilmu tersebut sebagai bid'ah, sehingga pasti berstatus buruk sebab ada pendapat yang mengatakan bahwa setiap bid'ah pasti membawa pada kesesatan.

Jika demikian yang menjadi hasil dari pemaparan tersebut, maka kitab suci Al-Qor’an dan hal-hal yang berkaitan dengan pengumpulan Al-Qor'an adalah buruk, sedangkan mengutarakan pendapat seperti ini adalah batil secara ijma'. Sedangkan jika yang menjadi hasil akhir tidak demikian, maka hal-hal tersebut tidak dinamakan bid'ah.

Jadi, yang demikian itu menuntut adanya dalil syar'i —walaupun yang dimaksud bukan hanya satu dalil—, yang diambil dari syariat secara keseluruhan. Apabila sebagian telah ditetapkan dalam almashalih almursalah, maka secara mutlak almashalih almursalah dapat dijadikan sebagai patokan.
Atas dasar hal tersebut, maka tidak layak jika ilmu-ilmu tersebut (yang menunjang dipahaminya syariat) dinamakan bid'ah.

Orang yang menyebutnya bid'ah, baik secara majas (seperti Umar bin Khoththob RA yang menamakan shalat pada malam bulan Romadhon sebagai bid'ah), maupun atau karena ketidaktahuannya tentang kedudukan As-Sunnah dan bid'ah, maka pendapat orang yang mengatakan demikian tidak berdasar dan tidak dapat dijadikan dasar dalam mengambil keputusan.

Adapun batasan kalimat "menyerupai syariat" adalah, tata cara yang menyerupai tata cara pelaksanaan syariat, padahal pada kenyataannya tidak demikian, bahkan bertentangan dengannya jika dilihat dari beberapa segi, antara lain:

1. Menentukan batasan-batasan, seperti orang yang bernazdar puasa sambil berdiri dan tidak duduk, berjemur dan tidak berteduh, mengkhususkan untuk memutuskan hubungan demi beribadah, serta memilih-milih makanan dan pakaian tanpa ada sebab.
2. Melazimkan pada tata cara dan kondisi ibadah tertentu, seperti berdzikir dengan kondisi satu suara bersamaan dan menjadikan hari kelahiran Nabi SAW sebagai hari raya.
3. Berpegang teguh pada ibadah tertentu dan pada waktu tertentu, yang tidak ada ketetapannya dalam syariat, seperti berpegang teguh pada puasa Sya'ban dan menghidupkan malam harinya.

Dari segi-segi penyerupaan terhadap hal-hal yang berbau agama, bid'ah amatlah sempurna, karena jika tidak menyerupai hal-hal yang disyariatkan tentu tidak dinamakan bid'ah dan hanya menjadi perbuatan biasa.

Tujuan orang yang membuat bid'ah adalah menyerupakan hal-hal yang dibuatnya itu dengan Sunnah, sehingga lebih mudah bercampur antara ajaran yang satu dengan yang lainnya. Karena, tabiat manusia adalah mengikuti suatu perkara yang menyerupai tata cara yang telah ditetapkan syariat. Jika tidak demikian maka hal itu tidak mendatangkan manfaat, tidak menolak keburukan, serta tidak ada satu orang pun yang mau menerimanya.

Oleh karena itu, Anda akan mendapatkan seorang pelaku bid'ah membela diri dengan perkara-perkara yang dianggap ada dalam syariat meski hanya dengan alasan mengikuti si Fulan yang telah masyhur dan termasuk orang yang baik.

Dalam hal ini sama dengan apa yang telah Anda saksikan, yaitu cara orang-orang Arab Jahiliyyah merubah ajaran Ibrohim AS. Mereka berdalih bahwa penyimpangan tersebut beralasan dan alasan yang diutarakan dapat dijadikan hujjah. Pernyataan mereka tentang asal usul kemusyrikan adalah, "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Alloh dengan sedekat-dekatnya." (Qs. Az-Zumar [39]: 3) Juga seperti meninggalkan semangat wukuf di Arafah dengan alasan, "Kami enggan keluar dari tanah Haram karena kami tidak mau melanggar kehormatannya." Demikian pula dengan orang yang thawaf di Ka'bah tanpa pakaian, mereka beralasan, "Kami tidak melakukan thawaf dengan memakai baju yang dengannya kami berlaku durhaka terhadap Alloh." Masih banyak alasan serupa lainnya yang mereka lontarkan agar seakan-akan sesuai dengan syariat.

Bagaimana pendapat Anda terhadap orang yang mengaku atau menyangka dirinya termasuk ahli agama, dan menyangka mereka lebih pantas menyandang hal tersebut? Mereka telah membuat kesalahan dan prasangka mereka adalah mala petaka. Apabila hal ini jelas adanya, maka penyerupaan dengan perkara-perkara syariat memaksa kita untuk memperhatikan batasan-batasannya dengan baik.

Sedangkan perkataan, "Dengan tujuan agar diekpresikan dalam bentuk tingkah laku (perbuatan) yang bersandar padanya secara berlebihan, terutama dalam beribadah kepada Alloh." Adalah makna bid'ah yang sesungguhnya, sebab hal inilah yang menjadi tujuan utama pensyariatannya.

Ketika seseorang mempraktekkan hal-hal yang berbau bid'ah, maka ia akan terdorong untuk tidak selalu beribadah dan memberi berita gembira pada permasalahan tersebut, karena Alloh SWT berfirman, "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku." (Qs. Adz-Dzaariyaat [51]: 56), Dari ayat ini dapat dipahami bahwa orang yang membuat bid'ah seakan-akan memiliki maksud seperti makna ayat tersebut, namun ia tidak menyadari bahwa yang dimaksud oleh syariat adalah aturan main dan batasan yang sempurna. Ia juga berpendapat bahwa perkara-perkara tersebut seharusnya diletakkan dalam bingkai hukum yang permanen dan kondisi yang terkendali, dengan sesuatu yang mempengaruhi jiwa, baik kecintaan terhadap penampilan maupun keinginannya untuk menghilangkan prasangkanya. Pada saat itulah bid'ah masuk ke dalam ketentuan yang telah ditetapkan.

Sesungguhnya jiwa manusia cenderung jenuh dan bosan dalam melakukan rutinitas ibadah-ibadah, dan ketika diperbaharui, yang diharapkan tidak mengikatnya, terciptalah semangat baru yang tidak menjadikan jiwa tetap pada pilihan pertama. Oleh karena itu, mereka berkata, "(Setiap yang baru memiliki kenikmatan).” Dengan mengambil hukum makna ini, seperti seseorang yang berkata, "Sebagaimana Anda membuat hukum baru bagi manusia, yang sesuai dengan kekejian yang baru mereka lakukan, maka seperti itu pula hendaknya Anda membuat kesenangan yang baru dalam kebaikan, yang sesuai dengan keputusasaan mereka."

Dalam hadits Mu'adz bin Jabal RA disebutkan, "Hampir-hampir seorang penyeru berseru, Tidaklah mereka termasuk pengikutku meski mereka mengikutiku, karena aku telah membacakan Al-Qor’an kepadanya namun maka enggan untuk terus mengikutiku, sehingga aku membuat hal baru untuk mereka selain hal tersebut. Jadi, jauhilah olehmu bid'ah karena sesungguhnya bid'ah itu sesat."
Dengan demikian, sangat jelas bahwa bid'ah tidak masuk dalam hal-hal yang bersifat adat kebiasaan. Setiap perkara yang baru, yang diciptakan dalam tata cara agama yang menyerupai tata cara yang telah disyariatkan namun bukan bertujuan ibadah, maka perkara tersebut tidak termasuk bid'ah. Hal ini seperti seseorang yang berutang dalam diharuskan menanggung harta atau yang lainnya dengan jumlah tertentu dan hitungan tertentu yang menyerupai kewajiban zakat, namun tidak ada kepentingan terhadap hal itu.

Begitu pula dengan penggunaan alat pengayak tepung, tempat-tempat untuk mencuci tangan, serta perkara lainnya yang serupa dengannya, yang tidak pemah ada sebelumnya, hal itu tidak dinamakan bid'ah bila dilihat dari salah satu pengertian tadi.
Adapun, pengertian yang kedua telah jelas maksudnya, kecuali perkataan, "Dengan tujuan seperti yang dituju dengan cara syariat."

Artinya, syariat diturunkan hanya untuk kemaslahatan para hamba, baik di dunia maupun di akhirat, dan agar dapat membimbing mereka dalam menjalani kehidupan dengan sempurna dan inilah yang dituju oleh orang yang membuat bid'ah dengan bid'ahnya itu. Karena bid'ah selalu berhubungan dengan ibadah dan adat kebiasaan, maka jika berhubungan dengan ibadah, ia akan berharap dapat melaksanakan ibadahnya dengan sempurna menurut prasangkanya, tujuannya jelas, yaitu agar mendapatkan kebahagiaan akhirat. Adapun jika berhubungan dengan adat kebiasaan, akan seperti itu pula harapannya, sebab ia membuat bid'ah dengan tujuan dapat menjalankan urusan dunianya, demi mencapai kemaslahatan yang sempurna.

Orang yang menghukumi alat pengayak tepung sebagai bid'ah, jelas bahwa menurutnya menikmati tepung yang telah diayak lebih nikmat daripada yang tidak diayak. Demikian halnya dengan bangunan yang kokoh dan megah, kenyamanannya lebih dapat dirasakan daripada bangunan yang terbuat dari ranting dan kayu. Seperti itu pula dengan keluar masuknya uang yang ada dalam suatu pemerintahan. Sungguh, hukum syariat telah memperluas wewenangnya dalam perkara tersebut, sebab jika tidak maka yang ini akan dianggap bid'ah, yang itu.... ?????
Dengan demikian, arti bid'ah menjadi jelas dan jelas pula segala permasalahannya di dalam syariat. Segala puji bagi Alloh SWT.


Batasan Arti Bid'ah
Dalam pembatasan arti bid'ah juga terdapat pengertian lain jika dilihat lebih saksama, yaitu: bid'ah sesuai dengan pengertian yang telah diberikan padanya, bahwa ia adalah tata cara di dalam agama yang baru diciptakan (dibuat-buat) —dan seterusnya—. Termasuk dalam keumuman lafazhnya adalah bid'ahtarkiyyah (meninggalkan perintah agama), demikian halnya dengan bid'ah yang bukan tarkiyyah. Hal-hal yang dianggap bid'ah terkadang ditinggalkan karena hukum asalnya adalah haram. Namun terkadang hukum asalnya adalah halal, tetapi karena dianggap bid'ah maka ia ditinggalkan. Suatu perbuatan — misalnya— menjadi halal karena ketentuan syar'i, namun ada juga manusia yang mengharamkannya atas dirinya karena ada tujuan tertentu, atau sengaja ingin meninggalkannya.

Meninggalkan suatu hukum; mungkin karena perkara tersebut dianggap telah disyariatkan seperti sebelumnya, karena jika perkaranya telah disyariatkan, maka tidak ada halangan dalam hal tersebut, sebab itu sama halnya dengan meninggalkan perkara yang dibolehkan untuk ditinggalkan atau sesuatu yang diperintahkan untuk ditinggalkan. Jadi di sini tidak ada penghalang untuk meninggalkannya. Namun jika beralasan untuk tujuan pengobatan bagi orang sakit, maka meninggalkan perbuatan hukumnya wajib. Namun jika kita hanya beralasan untuk pengobatan, maka meninggalkannya hukumnya mubah.
Permasalahan ini kembali pada keharusan untuk melindungi diri dari segala sesuatu yang membahayakan. Adapun asal hukumnya adalah sabda Rosululloh SAW,

Wahai sekalian pemuda! Barangsiapa diantara kalian mampu untuk —menanggung beban— pernikahan, maka menikahlah.... danbarang siapa tidak mampu maka hendaknya berpuasa." (1) 
Sebab hal tersebut (berpuasa) dapat menahan syahwat para pemuda, sehingga ia tidak dikalahkan oleh syahwatnya sendiri.

Begitu juga apabila seseorang meninggalkan sesuatu yang boleh untuk ditinggalkan karena di dalamnya terdapat suatu kerusakan, yang demikian itu termasuk sifat orang yang bertakwa. Diantaranya juga adalah meninggalkan sesuatu yang syubhat karena takut terjerumus ke dalam perbuatan yang diharamkan, sekaligus sebagai perlindungan terhadap agama serta harga dirinya sendiri.

Namun jika seseorang meninggalkan sesuatu selain hal-hal yang telah disebutkan tadi, baik berkenaan dengan masalah agama maupun tidak, maka jika bukan masalah agama, orang yang meninggalkan berarti telah mencampuradukkan antara sesuatu yang haram dikerjakan dengan keinginan untuk meninggalkan hal tersebut. Sikap untuk meninggalkan hal tersebut tidak termasuk bid'ah. Jadi, hal ini tidak masuk dalam lafazh pembatas kecuali dengan menggunakan cara yang kedua, yaitu: sesungguhnya bid'ah masuk pada hal-hal yang berbau adat. Sedangkan pada pengertian yang pertama hal ini tidak termasuk di dalamnya. Akan tetapi orang yang meninggalkan dianggap telah bermaksiat karena sikap meninggalkannya atau keyakinannya yang telah mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Alloh.

Namun jika sikap meninggalkan hal tersebut sebagai bentuk keyakinan dalam melaksanakan agama, maka hal itu adalah bid'ah menurut kedua pengertian bid'ah yang ada. Karena jika kita umpamakan perbuatan bid'ah hukumnya boleh, maka maksud dari meninggalkannya tersebut adalah penentangan terhadap pembuat syariat dalam mensyariatkan sesuatu yang dihalalkan,(2) seperti di dalam firman Allah, "Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas." (Qs. Maa'idah [5]: 87) Dalam ayat ini, hal pertama yang dilarang adalah mengharamkan sesuatu yang dihalalkan. Barulah ayat tersebut menyatakan bahwa hal itu adalah pembangkangan yang tidak disukai Alloh.

Dahulu, sebagian sahabat ada yang ingin mengharamkan dirinya tidur malam, ada yang tidak makan pada siang hari, ada yang enggan menggauli isteri, serta ada yang ingin mengebiri diri sebagai cara yang berlebihan dalam menjauhi wanita. Nabi SAW lalu bersabda,
"Barangsiapa tidak menyukai Sunnahku maka ia tidak termasuk golonganku."

Kesimpulannya, orang yang mencegah dirinya dari hal-hal yang dihalalkan Allah tanpa ada udzur syar'i, maka dirinya telah keluar dari Sunnah Nabi SAW. Sedangkan orang melakukan sesuatu (dalam urusan agama) tanpa berlandaskan Sunnah, maka dirinya jelas-jelas telah berbuat bid'ah.
Jika ditanyakan, "Apakah orang yang meninggalkan perintah-perintah syariat (baik yang sunah maupun yang wajib) dapat disebut sebagai pelaku bid'ah?"
Maka jawabannya, "Orang yang meninggalkan perintah agama terbagi menjadi dua kelompok;

1. Meninggalkannya bukan sebagai pelaksanaan agama namun karena malas atau meremehkan atau yang semisalnya. Dilihat dari faktor kejiwaan, kelompok ini kembali pada perkara yang dilanggarnya. Apabila ia bersentuhan dengan hal-hal yang bersifat wajib, maka perbuatan tersebut dikategorikan kemaksiatan, namun bila hal tersebut bersentuhan dengan hal-hal yang bersifat Sunnah, maka perkara tersebut tidak dikategorikan sebagai kemaksiatan. Hal ini pun jika hanya sebagian yang ditinggalkannya, namun jika seluruhnya ditinggalkan maka ia dikategorikan kemaksiatan. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam ilmu ushul fikih.
2. Meninggalkannya sebagai pelaksanaan dari perintah agama. Kelompok ini adalah bagian dari bid'ah, karena menjalankan agama dengan cara yang berseberangan dengan syariat Allah. Contohnya yaitu pengikut aliran bebas yang mengatakan bahwa taklif dapat dibebaskan bagi pengikut mereka yang telah membayar uang dalam jumlah yang telah ditentukan.

Oleh karena itu, redaksi pembatasan adalah: tata cara yang dibuat-buat, yang menyerupai syariat; ia mencakup bid'ah tarkiyyah dan yang lainnya, karena tata cara yang telah disyariatkan juga dibagi menjaditarkiyyah dan yang selainnya.

Sama saja, apakah kita mengatakan bahwa meninggalkan itu adalah suatu perbuatan atau kita mengatakan bahwa meninggalkan itu adalah suatu peniadaan atas suatu perbuatan. Kedua cara tersebut telah disebutkan di dalam ushul fikih.

Pembatasan arti bid'ah mencakup perkara meninggalkan atau melakukan sesuatu yang terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:
Akidah, perkataan, dan perbuatan, yang semuanya terbagi menjadi empat bagian.
Intinya adalah, semua yang berkaitan dengan perintah syariat berkaitan pula dengan bid'ah.


Catatan:

(1) Ujung kalimat pada hadits itu adalah, "Puasa, karena ia adalah sebagai perisai baginya." Sedangkan perkataannya, "Yang dapat menahan syahwat para pemuda." -sampai ungkapan terakhir- adalah perkataan pengarang kitab yang menjelaskan tentang alasan anjuran berpuasa, yaitu sebagai perisai. Maksudnya adalah melemahkan syahwat, sebagaimana pendapat jumhur ulama, bahwa hal tersebut tidak akan nampak pada puasa yang banyak dengan membatasi dan cukup dengan makan sedikit ketika berbuka dan bukan sebaliknya, karena sesungguhnya puasa adalah sumber kesehatan dan penambah kekuatan, sehingga tebentuk kehidupan yang seimbang. Pada saat itu, sisi-sisi kesamaan antara menahan rekanan urat kekuatan kejantanan (yang dapat melemahkan atau menghilangkan syahwat) dengan puasa yaitu, puasa sebagai sarana untuk menuju takwa, sebagaimana yang difirmankan Alloh Ta’ala ketika mewajibkannya, "Agar kamu bertakwa." Orang yang banyak berpuasa dan meninggalkan keinginan terhadap makanan dan minuman yang disukainya karena Alloh Ta’ala akan mendapatkan dua keuntungan, yaitu:

1. Terbiasa mengingat Alloh Ta’ala.. Hal ini ia meninggalkan makanan dan minuman yang disukainya karena Allah.
2. Terbiasa meninggalkan syahwat yang dibutuhkannya setiap hari. Hal ini karena takwa adalah


(2) Sesungguhnya penduduk Al Astanah sama sekali tidak memakan daging burung merpati. Bahkan mereka mencela serta mengingkari perbuatan tersebut. Mereka memeliharanya dan menjaganya di masjid serta di rumah-rumah mereka. Pada hakikatnya, secara umum mereka meyakini bahwa memakan burung merpati hukumnya haram. Bukankah para ulama harus turun tangan (memerangi) bid'ah tarkiyyah seperti itu dengan tindakan dan perkataan?

0 komentar:

Posting Komentar