FATWA KIBARUL ‘ULAMA KERAJAAN SAUDI ARABIA UNTUK KAUM YANG MENGKLAIM DIRINYA ‘SALAFIYYUN’
(Diterjemahkan dari kitab Kasyfu al Haqaa-iq al Khafiyah ‘inda
Mudda’iy as Salafiyyah/Menyingkap Realita Tersembunyi pada kelompok Yang
mengaku sebagai Salafiyah, karya Syaikh Mut’ib bin Sarayan al
‘Ashimiy. Penerbit Maktabah al Malik Fahd al Wathaniyah, Mekkah al
Mukarramah 1425H)
Edisi kali ini akan kami tampilkan fatwa dan nasihat para ulama besar
di Kerajaan Saudi Arabia untuk mereka yang menamakan dirinya
‘salafi’. Fatwa ini lahir karena kegelisahan dan keprihatinan para
ulama tersebut atas realita yang menodai citra da’wah Islamiyah yang
seharusnya rahmah. Anda akan temukan bahwa para ulama ini amat
mengingkari sikap keras, gampang menuduh, memfitnah, dan memberikan
gelar-gelar buruk kepada sesama umat Islam, apalagi para da’i dan
ulamanya. Sekaligus juga, pengingkaran mereka terhadap klaim atau
sebutan-sebutan bernada membanggakan diri dan hizbiyah, seperti mengaku
‘
kami salafiyyun’ atau ‘
aku salafi.’ (coba lihat kesini:
http://www.thoughts.com/wedusgembel/blog/kebenaran-tak-butuh-pengakuan-514948 )
Inilah kondisi sebenarnya, namun apakah realita ini sengaja
disembunyikan, atau memang mereka tidak mau tahu, karena begitu
kentalnya sikap fanatisme dan hizbiyah (kekelompokkan). Sebagaimana yang
kita lihat begitu sterilnya mereka dengan saudara-saudaranya. Selama
tidak bertingkah sama dengan mereka, tidak memfasiq-kan apa yang
mereka fasiq-kan, tidak mengkafirkan apa yang mereka kafirkan, tidak
membid’ahkan apa yang mereka bid’ahkan, tidak ikut mentahdzir orang
yang mereka tahdzir, dan tidak memboikot orang yang mereka boikot,
maka Anda tidak diakui sebagai salafy, bahkan Anda akan mengalami
serangan yang serupa, sebagaimana yang dialami oleh Syaikh ‘Aidh al
Qarny, Syaikh Salman Fahd al ‘Audah, dan Syaikh Safar al Hawaly.
Sebenarnya mereka ulama salafy juga, namun karena tidak mau begitu
saja menyerang sesama aktifis Islam, langsung dianggap sesat. Ini,
mudah-mudahan bukan gambaran umum tentang mereka. Semoga ada ikhwah
yang sempat dan memiliki keluangan waktu untuk menerjemahkan secara
utuh kitab ini. Nas’alullahal hidayah wal ‘afiyah … amin
Nasihat Samahatusy Syaikh al ‘Allamah Abdul ‘Aziz bin Baz –rahimahullah (hal.3-4)
Wajib bagi setiap penuntut ilmu dan ahli ilmu
untuk mengetahui kewajiban para ulama. Wajib atas mereka, untuk
berprasangka baik, berbicara yang baik, dan menjauhi pembicaraan yang
buruk, sebab para da’i ilallah memiliki hak yang besar di dalam
masyarakat. Maka, wajib bagi mereka untuk membantu tugas mereka (para
da’i) dengan perkataan yang baik, metode yang bagus, dan prasangka yang
baik pula. Bukan dengan sikap kekerasan, bukan dengan mengorek
kesalahan-kesalahan agar orang lari dari fulan dan fulan.
Adalah wajib untuk menjadi penuntut ilmu, menuntut yang baik dan
bermanfaat, lalu bertanya tentang masalah-masalah ini. Jika terdapat
kesalahan atau musykil hendaknya bertanya dengan hikmah dan niat yang
baik, setiap manusia pernah berbuat salah dan benar, tidak ada yang
ma’shum kecuali para rasul –‘alaihimus shalatu was salam, mereka terjaga
dari kesalahan dalam apa-apa yang mereka sampaikan dari Rabb mereka.
Para sahabat nabi dan setiap orang selain mereka pasti pernah berbuat
salah dan benar, begitu pula orang-orang setelah mereka, dan ucapan
para ulama dalam urusan ini sudah diketahui dengan baik (ma’ruf).
Ini bukan berarti, para da’i, ulama, pengajar, atau khathib, adalah
ma’shum, tidak. Mereka telah berbuat salah, maka wajib memberinya
peringatan, juga atas hal yang musykil darinya hendaknya bertanya dengan
ucapan yang baik, maksud yang mulia, sampai diperoleh faedah dan
clearnya musykil tersebut, dengan tanpa berpaling dari si fulan atau
menjauhinya.
Para ulama, mereka adalah pewaris para nabi. Tetapi bukan berarti
selamanya mereka tidak punya salah. Jika salah, mereka mendapatkan satu
pahala, jika benar, mendapatkan dua pahala.
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Jika seorang hakim
menentukan hukum, ia berijtihad, kemudian ia benar, maka ia
mendapatkan dua pahala. Jika ijtihadnya salah maka satu pahala. “ (HR.
Bukhari, 9/193. Muslim, 33/1342)
Saudara-saudara kami para da’i ilallah ‘Azza wa Jalla di negeri ini,
hak mereka atas masyarakatnya adalah mendapatkan bantuan dalam
kebaikan, berprasangka baik dengan mereka, dan menjelaskan kesalahannya
dengan uslub (cara) yang bagus, bukan bertujuan mencari ketenaran dan
aib.
Sebagian manusia ada yang menulis selebaran-selebaran tentang
sebagian para da’i, berupa selebaran-selebaran yang buruk, yang tidak
sepantasnya ditulis oleh para penuntut ilmu, dan tidak sepantasnya
dengan cara demikian … (Kibarul ‘Ulama yatakallamuna ‘an ad Du’at, Hajar
al Qarny, hal. Sampai di sini dari Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz
–rahimahullah.
Nasihat Samahatusy Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin –rahimahullah (hal.5)
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata:
Jika telah banyak golongan-golongan (al Ahzab) dalam tubuh umat Islam
maka janganlah fanatik pada kelompok. Telah nampak golongan-golongan
sejak zaman dahulu seperti khawarij, mu’tazilah, jahmiyah, rafidhah,
kemudian nampak saat ini ikhwaniyyun, salafiyyun, tablighiyyun, dan
yang sepertinya. Maka, hendaklah setiap kelompok-kelompok dicampakan
ke sebelah kiri dan hendaklah kalian bersama imam, dan demikian itu
merupakan apa-apa yang diarahkan oleh Nabi dalam sabdanya: “Hendaklah
kalian memegang sunahku, dan sunah para khulafa’ ur rasyidin.”
Tidak ragu lagi, bahwa wajib atas seluruh kaum muslimin menjadikan
madzhab mereka adalah madzhab salaf, bukan untuk ber-intima
(berkomitmen) pada
kelompok tertentu yang dinamakan
salafiyyun.
Wajib bagi umat Islam menjadikan madzhab mereka adalah madzhab
salafus shalih, bukan bertahazzub (berkelompok) kepada apa-apa yang
dinamakan salafiyyun. Maka, ada thariiq (jalan-metode) as salaf (umat
terdahulu), dan ada juga hizb (kelompok) yang dinamakan salafiyyun,
padahal yang dituntut adalah ittiba’ (mengikuti) salaf (umat
terdahulu). (Syarah al Arba’iin an Nawawiyah. Hadits ke 28: “Aku
wasiatkan kalian untuk taqwa kepada Allah, dengar dan taat,” hal.
308-309) (dalam kitab aslinya paragrap dua dan tiga juga ditebalkan)
Nasihat Al ‘Allamah Syaikh Shalih bin Fauzan al Fauzan –hafizhahullah (hal. 15-16)
“Ada orang yang mengklaim bahwa dirinya di atas
madzhab salaf, tetapi mereka menyelisihinya, mereka melampaui batas
(ghuluw) dan menambah-nambahkan, dan keluar dari metode As Salaf. Di
antara mereka juga ada yang mengaku bahwa dirinya di atas madzhab
salaf, tetapi mereka menggampangkan dan meremehkan, hanya cukup
menyandarkan diri (intisab).
Orang yang di atas manhaj salaf itu adalah lurus dan pertengahan
antara melampaui batas (ifrath) dan meremehkan (tafrith), demikianlah
thariqah salaf, tidak melampaui batas atau meremehkan. Untuk itulah
Allah Ta’ala berfirman: “ …dan prang-orang yang mengikuti mereka dengan
baik ….”
Maka, jika engkau hendak mengikuti jejak salaf, maka engkau harus
mengenal jalan (thariqah) mereka, tidak mungkin mengikuti mereka kecuali
jika engkau telah mengenal jalan mereka, dan itqan dengan manhaj
mereka lantaran engkau berjalan di atasnya. Adapun bersama orang bodoh,
engkau tidak mungkin berjalan di atas thariqah mereka (salaf), dan
engkau menjadi bodoh dan tidak mengenalnya, atau menyandarkan kepada
mereka apa-apa yang tidak pernah mereka katakan atau yakini. Engkau
berkata: ‘Ini madzhab salaf,’ sebagaimana yang dihasilkan oleh sebagian
orang bodoh saat ini, orang-orang yang menamakan diri mereka dengan
salafiyyin, kemudian mereka menyelisihi kaum salaf, mereka amat keras, mudah mengkafirkan, memfasiq-kan, dan membid’ahkan.
Kaum salaf, mereka tidaklah membid’ahkan, mengkafirkan, dan
memfasiq-kan kecuali dengan dalil dan bukti, bukan dengan hawa nafsu dan
kebodohan. Sesungguhnya engkau menggariskan sebuah ketetapan:
“Barangsiapa yang menyelisihinya, maka dia adalah mubtadi’ (pelaku
bid’ah) dan sesat,” Tidak yaa akhi, ini bukanlah manhaj salaf.
Manhaj salaf adalah ilmu dan amal, ilmu adalah yang pertama, kemudian
beramal di atas petunjuk. Jika engkau ingin menjadi salafi sejati
(salafiyan haqqan), maka wajib bagimu mengkaji madzhab salaf secara
itqan (benar, profesional), mengenal dengan bashirah (mata hati),
kemudian mengamalkannya dengan tanpa melampau batas dan tanpa
meremehkan. Inilah manhaj salaf yang benar, adapun mengklaim dan sekedar
menyandarkan dengan tanpa kebenaran, maka itu merusak dan tidak
bermanfaat” (dikutip dari jawaban Syaikh Shalih Fauzan atas pertanyaan
dalam kajian kitab Syarh al Adidah Ath Thahawiyah tahun 1425H, direkam
dalam kaset seputar tema ini)
Pada hal. 17 – 18, Syaikh Shalih bin Fauzan al Fauzan
juga ditanya, tentang orang yang menyematkan dibelakang namanya dengan
sebutan As Salafy atau Al Atsary, apakah hal tersebut merupakan
mensucikan diri sendiri? Ataukah sesuai dengan syariat? (pembaca
Tatsqif, seperti yang kita ketahui saudara-saudara kita salafy sering
menambahkan di belakang nama mereka dengan Al Atsary atau As Salafy,
misal Abu Fulan al Atsary, Fulan bin Fulan al Atsary, sebagaimana dalam
Blog-blog internet yang mereka buat, dll)
Syaikh Shalih Fauzan menjawab:
“Yang dituntut adalah agar manusia mengikuti kebenaran, dituntut
mencari kebenaran, dan beramal dengannya. Adapun, bahwa ada yang mengaku
bahwa dirinya salafy atau atsary atau apa saja yang seperti itu, maka
janganlah mengklaim seperti itu. Allah Subahanahu wa Ta’ala yang
Mengetahui, telah berfirman:
Katakanlah: "Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang
agamamu, padahal Allah mengetahui apa yang di langit dan apa yang di
bumi dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu?"(QS.AlHujurat: 16)
Menggunakan nama salafy atau atsary, atau yang serupa dengannya, hal
ini tidak ada dasarnya (dalam syariat, pent). Kita melihat pada
esensinya, tidak melihat pada perkataan, penamaan, atau klaim semata, ia
berkata bahwa dirinya salafy padahal ia bukan salafy, atau atsary
padahal ia bukan atsary. Namun, ada orang yang sebenarnya salafy dan
atsary walau tanpa mengaku dirinya adalah salafy atau atsary.
Kita melihat pada hakikatnya, bukan pada penamaan, atau klaim semata,
dan hendaknya seorang muslim komitmen terhadap adab bersama Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Ketika orang Badui berkata: ‘Kami telah beriman’,
Allah mengingkari mereka (Berkatalah orang-orang Badui ‘Kami telah
beriman’, katakanlah (wahai Muhammad): ‘Kalian belum beriman, tetapi
katakanlah ‘Kami telah berserah diri-Islam.’) Jadi, Allah mengingkari
penamaan mereka.dan penyifatan diri mereka dengan iman, dan mereka belum
sampai pada martabat itu. Orang-orang Badui itu datang dari pedalaman
dan mereka mendakwakan bahwa mereka sudah beriman sejak lama, tidak.
Mereka telah berserah diri dan masuk Islam, dan jika mereka
terus-menerus seperti itu dan mereka mempelajarinya, maka iman masuk ke
dalam hati mereka. (Dan iman belum (lamma) masuk ke dalam hati
mereka), kata lamma (belum) digunakan untuk sesuatu yang belum
terjadi, artinya iman itu akan masuk, tetapi sejak awal kalian sudah
mengklaim. Inilah bentuk pensucian diri (maksudnya menganggap diri
bersih dan lebih dari yang lain, pent)
Maka, engkau tidak perlu berkata ‘
Saya salafy’,
‘Saya atsary’, saya begini begitu. Wajib bagimu mencari kebenaran dan
beramal dengannya dan meluruskan niat. Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha
Mengetahui keadaan sebenarnya dari hamba-hambaNya. (Ibid)
Selanjutnya,
Al Ustadz Mut’ib bin Sarayan al ‘Ashimy (hal. 33-34)
juga menyorot dengan tajam tentang metode tarbiyah kepada para pemula
dan pemuda salafiyyin. Inilah hal yang paling sering diajarkan kepada
para pemulanya (menurut Syaikh Mut’ib), dan Anda bisa membandingkan
sendiri dengan perilaku para pemuda salafiyyin baik di keseharian,
diskusi atau di internet, yaitu:
1. Mereka dibina untuk memperluas kecaman, menyerang dan merendahkan
kehormatan kaum muslimin secara umum, dan para ulama secara khusus.
Mereka menyebutnya sebagai bagian taqarrub ilallah, dan bentuk pembelaan
terhadap aqidah.
2. Mereka dibina untuk menyukai debat kusir (al mira’), dengan metode yang buruk dan akhlak yang rendah.
(baca: ngakunya debat ilmiyyah)
3. Mereka dibina untuk rajin menggolong-golongkan berbagai gerakan
dan lembaga Islam, hal itu membuat kaum muslimin terbagi-bagi
(tashniif), menjadi firqah-firqah, hizb-hizb, dan banyak jamaah. Mereka
menyebutnya hizbiyah.
(bukti terlampir ada di blog2 salafi rakitan)
4. Menanamkan penyakit pengajaran dan perasaan tinggi dalam diri para
pemuda sejak awal menuntut ilmu, berupa keadaan bahwa mereka sudah
ahli berfatwa dan mengkritik (naqd) manusia.
5. Mereka dibina untuk mengkritik dengan cara yang buruk, dengan
menggunakan kata-kata kasar terhadap saudara mereka yang berselisih
dengan hawa nafsu mereka, tanpa melihat keulamaan dan kadar usia
seseorang. Bahkan tidak lagi merasa malu kepada manusia.
6. Mereka dibina untuk su’uz zhan, walau sekadar setitik di hati,
hingga tumbuh buahnya yang merusak lantaran zhan dan wahm (sangkaan)
itu, yaitu lahirnya tuduhan dan menghukumi manusia.
7. Mereka dibina untuk menghinakan manusia dengan ghibah dan tuduhan
dusta kepada orang-orang yang taat kepada agama dan cinta kebaikan.
8. Mereka dibina untuk mencari-cari kesalahan orang lain lalu
menyebarkannya, dan mereka sangat bergembira jika menemukan kesalahan
dari ulama atau da’i bahwa mereka telah begini begitu.
9. Mereka dibina untuk memboikot (hajr) saudara-saudaranya ketika
berbeda pendapat dengan mereka dalam satu masalah. Menurut mereka hajr
adalah sesuatu yang patut diterima oleh ahlul hawa dan mubtadi’ (pelaku
bid’ah).
10. Mereka dibina untuk berpenampilan tidak menarik, malas, dan
negatif (dimata masyarakat, pent), misalnya: mereka di tahdzir (diberi
peringatan) agar jangan berpartisipasi dalam kegiatan penyadaran, amal
pelayanan di masyarakat demi menegakkan agama mereka dan membina
masyarakat. Mereka menyangka hal itu bid’ah bukan dari sunah.
11. Mereka dibina untuk menolong pribadi (tokoh mereka, pent), bukan
karena kebenarannya. Mereka memberikan pembelaan demi tokohnya itu
dengan hawa nafsunya, dengan segala keburukan dan keangkuhan.
12. Mereka dibina dengan sesuatu yang monoton ketika menuntut ilmu,
mereka tidak punya manhaj, sehingga mereka tidak menghasilkan karya
pada diri mereka secara orisinil (ta’shil). Mereka hanya menghasilkan
makalah-makalah (baca: selebaran) untuk mendukung tujuan mereka.
(contoh: Buku Bantahan terhadap Madigoliyah, dll)
13. Mereka dibina untuk fanatik dengan seseorang, bukan dengan al haq
(walau mereka tidak mangakui, namun faktanya demikian, pent). Mereka
tidak mau menerima kebenaran dari jalan yang berbeda dengan hawa nafsu
dan syahwat mereka, dengan alasan bahwa kebaikan dan kebenaran yang
berbeda dengan mereka, hanyalah sesuai dengan mereka yang berselisih
dengan mereka. (intinya, kalau bukan dari mereka, tidak mau mengakui.
pent)
14. Mereka dibina untuk melampaui batas dan ekstrim (tatharruf),
khususnya dalam masalah memberikan nasihat. Mereka sangat keras
(ghulat) ketika menasihati orang yang menyelisihi mereka, sedangkan
justru sangat memuji (jufat) nasihat orang-orang yang mendukung
(sepemikiran, pent) dengan mereka.
15. Mereka amat memberikan perhatian terhadap masalah tauhid, dan
berputar-putar di situ saja. Seolah mereka lalai dengan masalah keilmuan
lainnya, seperti da’wah dan tarbiyah. Padahal sebenarnya, mereka
adalah orang yang paling jauh dari penerapan apa-apa yang mereka kaji,
seperti kaitan mereka dengan celaan terhadap kehormatan ulama dan
da’i, dan lemparan tuduhan mereka dengan berbagai sifat (sesat,
mubtadi’, mumayyi’ –plintat-plintut, kufr, syirk, dll) yang keluar
dari lisan mereka terhadap saudara mereka dari kalangan da’i dan
ulama. Hasbunallah wa ni’mal wakil.
Wallahu A’lam